Selasa, 27 Maret 2012

MISTERI GARENGPUNG DAN KINJENG TANGIS

Gareng Pung atau Kinjeng Tangis merupakan salah satu serangga yang menjadi indicator kestabilan ekosistem pedesaan, masyarakat Jawa sering disebut “Kinjeng Tangis” atau “Tonggeret” karena suaranya yang lebih menyerupai sayatan-sayatan kepiluan. Saat ini di desa-desa serangga ini sudah sulit diketemukan karena rusaknya habitat tempat tinggal mereka. Berbagai jenis obat pebasmi serangga dan juga penebangan pohon-pohon perindang di sawah, ladang maupun sekitar pekarangan rumah masyarakat pedesaan diduga ikut andil menyempurnakan kemusnahan serangga ini.

Kinjeng Tangis, Tonggeret atau biasa disebut Cengreret adalah sebutan untuk segala jenis serangga dari ordo Hemiptera, subordo Cicadomorpha. Nama Gareng pung biasanya oleh orang Jawa digunakan untuk menyebut jenis dari mereka yang posturnya lebih besar daripada Kinjeng Tangis. Serangga ini mulai bisa terbang setelah berusia 17 tahun lebih 3 hari. Setelah selama tepat 17 (tujuh belas) tahun mereka hidup sebagai larva di dalam tanah. Kinjeng tangis menghabiskan waktunya selama 17 (tujuh belas tahun) di dalam tanah dengan tetap mengandalkan lemak-lemak dan protein di dalam tubuhnya. Hanya dalam waktu 3 (tiga) hari setelah mereka keluar dari tanah, mereka berubah menjadi serangga sempurna dengan bulu-bulu yang kokoh.

Menandai Bau Getah
Secara naluri serangga baru ini akan memperjuangkan kelangsungan generasinya dengan kawin, bertelor, untuk penciptaan larva-larva baru. Larva baru akan juga survive selama 17 tahun di dalam tanah seperti generasi sebelumnya.

Menurut beberapa penelitian biologi yang telah dilakukan terhadap serangga ini, jangkrik pohon akan mampu menghitung tepat 17 tahun masa survivenya dengan menandai bau getah akar pohon di sekitarnya. Mereka sangat mampu membedakan usia pohon yang ditumpanginya. Ini juga sekaligus menjadi jawaban tentang kepunahan mereka, terlebih karena banyak pohon yang sudah ditebang sebelum masa usia larva.

Saat serangga ini mencapai tahap dewasa, keluar dari bawah permukaan tanah untuk melakukan ritual musim kawin. Seusai kawin, betina meletakkan telur di tanah, serangga ini mati. Tonggeret kadang-kadang dikira belalang atau lalat besar, meskipun mereka tidak mempunyai pertalian keluarga yang dekat. Tonggeret mempunyai hubungan dekat secara taksonomi dengan wereng dan spittlebugs.

Serangga ini mempunyai mata yang kecil dan terpisah jauh di kepalanya dan biasanya juga memiliki sayap yang tembus pandang. Tonggeret hidup di daerah beriklim sedang hingga tropis dan sangat mudah dikenali di antara serangga lainnya, terutama karena tubuhnya yang besar dan bakat akustiknya yang luar biasa (dan seringkali sangat mudah dikenali). Di Indonesia, suara tonggeret yang nyaring akan muncul di akhir musim penghujan yang biasanya jatuh sekitar pertengahan bulan April, petani desa biasanya menyebut datangnya awal musim kemarau ini dengan sebutan musim “Mareng”, karena ditandai dengan ramainya suara Gareng pung dan Kinjeng tangis yang saling bersahut-sahutan.

Taksonomi

Di dunia ada sekitar 3.000 spesies tonggeret, meskipun banyak yang belum dideskripsikan. Tonggeret dikelompokkan dalam dua familia: Tettigarctidae (di bahas di tempat lain) dan Cicadidae. Ada dua spesies Tettigarctidae yang telah punah, satu di Australia selatan, dan yang lainnya di Tasmania. Familia Cicadidae dibagi lebih jauh ke dalam subfamilia Tettigadinae, Cicadinae dan Cicadettinae. Mereka terdapat di semua benua kecuali Antarktika.

Corak Bulu dan Suara
Setelah menjadi serangga, Kineng Tangis atau Tonggeret yang bernama asli Cicada ini akan memiliki mata yang kecil dan jauh dari permukaan kepalanya, bulunya berwarna transparan dengan corak guratan khusus dan sedikit berbeda antara bulu tonggeret jantan dan betina. Corak bulu ini yang kemudian akan membedakan bunyi nyanyian mereka.

Ketika Tonggeret jantan “bernyanyi” bunyinya sangat khas dan keras. Baik tempo maupun volume bunyi yang dihasilkan Tonggeret jantan akan tergantung pada suhu udara di sekitarnya, semakin panas maka temponya semakin cepat serta volumenya juga semakin kencang. Frekuensi suara tonggeret ini memang sangat khas, sehingga pada saat tertentu bisa mencapai getaran frekuensi 125 desible (suara yang mampu di dengar oleh penderita tuli pada umumnya).

Suara tonggeret jantan terutama bertujuan untuk memancing perhatian tonggeret betina, dan mengusir tonggeret jantan lainnya. Bunyi yang dihasilkan tonggeret betina lebih menyerupai petikan jari tangan, namun itu cukup bagi Tonggeret jantan untuk mengikuti arah suaranya. Setelah masa ritual perkawinannya, tonggeret betina segera bertelor, dan meletakkan telor-telor mereka di bawah tanah, setelah itu mereka akan segera mati.

Tonggeret mempunyai hubungan dekat secara taksonomi dengan wereng dan spittlebugs.
Demikian kisah cicada, atau kinjeng tangis, atau garengpung, atau tonggerek, dan apapun nama mereka, yang telah melewati sejarah hidup membujang selama belasan tahun untuk hanya menikmati masa perkawinan mereka selama beberapa minggu saja sebelum kemudian mati tertelan bumi. (BAA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar